BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Pembahasan
Proses
kejadian manusia menurut Al Qur’an pada dasarnya melalui dua proses dengan enam
tahap yaitu proses fisik atau materi/jasadi (dengan lima tahap) dan proses non
fisik (dengan satu tahap tersendiri). Secara fisik, manusia berproses dari
nutfah, kemudian ‘alaqoh, mudlgoh, ‘idham, dan lahm yang membungkus ‘idham ata
mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia. Dan secara nonfisik
yaitu merupakan tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia sehingga ia
berbeda dengan makhluk lainnya,[1]
sementara bahan kejadian ruh dalam diri manusia yang mengetahui hanyalah Allah
dan manusia tidak boleh tau akan hal itu karena itu adalah urusan tuhan (Q.S al
Isra’:85).[2]
Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, dan hikmah yang hebat,
baik lahir maupun batin bahkan pada setiap anggota tubuhnya. Yang dapat
dikembangkan menuju kemajuan peradapan manusia, pendidikan islam, antara ain
diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis serta
pengembangan fitrah manusia secara terpadu.[3]
Adapun
dalam makalah ini, akan disajikan dorongan-dorongan secara fisiologis (jasmani)
dan psikologis (rohani) yang sebenarnya mampu untuk mengembangkan diri dengan
potensi-potensi yang telah di berikan oleh Allah serta ayat-ayat yang
menafsirkan tentang arahan keduanya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Sejatinya Manusia dalam
Pandangan Islam?
2.
Bagaimana Dorongan Fisiologis dan
Psiklogis pada Diri Manusia?
3.
Bagaimana Surat-Surat mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui sejatinya Manusia dalam
Pandangan Islam.
2.
Untuk mengetahui dorongan Fisiologis
dan Psiklogis pada Diri Manusia
3.
Untuk mengetahui surat-surat mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejatinya
Manusia Dalam Pandangan Islam
Dalam dunia Pendidikan Islam,
Pentingnya mengupas manusia dengan paradigma yang sangat luas, karena manusia
sebagai subyek maupun obyek pendidikan. Dalam artian bahwa aktifitas pendidikan
sangat berkaitan dengan proses humanizing of human being yaitu proses
memanusiakan manusia atau upaya membantu subyek didik untuk berkembang
normative lebih baik. Oleh karena itu, perlu sekali membahas tentang hakikat
manusia khususnya dalam prespektif agama islam.[1]
Dari pada Proses kejadian manusia
yang sebagaimana telah di sebutkan dalam (Q.S al mu’minun: 12-15) dan (Q.S al
hijr: 29).[2] Adapun
Manusia disitilahkan dalam al qur’an
dalam tiga hal, yaitu al-basyir, al- insan, dan an-nas.
Al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang
memiliki sagala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,
kebahagiaan, dan lainnya. Adapun kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak , atau pelupa. Secara istilah al-insan berarti adanya totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani.
Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai mahluk Allah yang
unik dan istimewa. Hal ini akan terintegrasi dalam iman dan amalnya.
An-Nas menunjukkan pada eksistenti manusia sebagai makhluk social
secara keseluruhan Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk struktur yang
sempurna. Hal ini bisa dilihat dari ciptaan Allah yang lainnya. Penciptaan
selain manusia hanya terdiri dari struktur jasmani (fisiologi) saja. Firman
Allah :
ª!$#ur /ä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR ¢OèO ö/ä3n=yèy_ %[`ºurør& 4 $tBur ã@ÏJøtrB ô`ÏB 4Ós\Ré& wur ßìÒs? wÎ) ¾ÏmÏJù=ÏèÎ/ 4 $tBur ã£Jyèã `ÏB 9£JyèB wur ßÈs)Zã ô`ÏB ÿ¾ÍnÌßJãã wÎ) Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇÊÊÈ
Artinya:Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani,
Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak
ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan
dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang
berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan)
dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah
mudah.(Q.S al fatiir: 11)
Kalaupun ada stuktur rohani seperti yang terdapat pada hewan dan
tumbuhan, tetapi tidak dikarunia akal sebagai sentral aktivitas manusia.
Manusia memiliki kedua struktur tersebut, jasmani dan rohani. Dengan
kedua struktur tersebut, maka manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan tersebut.
Adapun menurut pakar pendidikan, fase kehidupan manusia merupakan
catatan terpenting bagi pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses
menuju kearah yang lebih baik, maka ia harus senantiasa memperhatikan factor kejiwaan
manusia, sehingga pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan
perkembangan.[3]
Ketika sudah sesuai dengan tahapan tahapannya, maka potensi-potensi dasar atau
fitrah yang ada pada diri manusia dapat di aktualkan atau ditumbuhkan dalam
kehidupan nyata di dunia ini dengan melalui proses pendidikan, dan untuk
selanjutnya di pertanggungjawabkan di hadapanNya kelak di akhirat.[4]
B.
Dorongan
Fisiologis dan Psiklogis pada Diri Manusia
Sebenarnya
manusia ditempatkan pada kedudukan yang mulia dan dilebihkan oleh Allah SWT
dari makhluk lain karena manusia diciptakan sebagai penerima ajaran dan
sekaligus sebagai pelaksanakannya. Disamping itu juga diciptakan dalam bentuk
fisik yang bagus, sebagaimana firman Allah swt, dalam surat At tin : 4
Untuk
mempertahankan kedudukan manusia yang di mulia dan bentuk fisiknya yang bagus
itu, Allah swt. Membekali dan memberi perlengkapan lagi dengan hal-hal yang non
fisik yang memungkinkan bagi manusia untuk menerima dan mengembangkan dan
membudayakan ilmu yang dimilikinya.[5]
Adapun
hal-hal yang menyangkup subtansi nonfisik (immateri) antara lain:
1.
Fitrah
Fitrah
manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahir yakni potensi
beragama yang lurus. firman Allah dalam
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî
ÇÊÐËÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al
a’raf:172)
Menurut
Muhammad bin Askur sebagaimana dikutip oleh Quraish shihab, beliau mengatakan:
“fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk.
Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang di ciptakan Allah pada
manusia yang berkaitan dengan jasmani
dan akalnya (akal dan ruhnya).
2.
Nafs
Al
qur’an menegaskan bahwa nafs dapat berpotensi positif dan negative. Pada
hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negatifmya,
hanya saja daya tarik keburukannya lebuh kuat daripada kebaikannya. Di sisi
lain ditemukan isyarat bahwa nafs merupakan wadah yang menampung gagasan dan
kemauan yang disadari manusia, maupun hal-hal yang sudah hilang dari ingatan
manusia dengan kata lain “ dalam bawah sadar manusia”.
3.
Qalb
Kalbu
adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Dari sini
dapatlah di fahami bahwa qalb memang menampung hala-hal yang di sadari oleh
pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara Qalb dan nafs. Bukankah telah dinyatakan sebelumnya bahwa
nafs menampung apa yang ada di bawah
alam sadar, dan atau sesuatau yang tidak di ingat lagi dengan demikian dapatlah
difahami pula mengapa di tuntut untuk di pertanggung jawabkan hanya isi qalb
bukan isi nafs.
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷r& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsã $oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3 ª!$#ur
îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
Artinya:Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S
Albaqarah:225)
4.
Ruh
Masalah
ruh dan hakikatnya telah menjadi bahan pemikiran para filosof dan cerdik
cendikiawan semenjak zaman lampau. Karena, dengan jelas dapat ditangkap bahwa
di dalam tubuh manusia yang hidup ada sesuatu selain tubuh itu. Dengannya,
manusia menjadi dapat menangkap pemahamn
dan dengan ketiadaannya maka tubuh manusia menjadi kehilangan control dan
kemampuan untuk menangkap pemahaman. Dengan itu di ketahui bahwa di dalam tubuh
manusia ada sesuatu selain anggota tubuh yang tampak dan tidak tampak. Karena,
ditemukan dengan jelas bahwa ketika tubuh mayat dibedah, tidak ada suatu
anggota tubuh bagian dalamnya yang hilang yang ada saat ia masih hidup.
Jika
akal manusia tidak mampu memahami hakikat ruh dan cara perhubungannya dengan
tubuh, bagaimana ruh itu lepas dari tubuh. Maka jawablah bahwa ruh adalah
masalah Allah artinys ia merupakan satu eksistensi yang dimuliakan oleh Allah,
namun hanya Allah lah yang mengetahui hakikatnya.
Allah
berfiman dalam
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S
17:85)[6]
5. Aql.
Menurut Raghib al-Asfahani akal merupakan
kekuatan yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, sabda rosulullah
“Allah tidak menciptakan sesuatu yang
lebih mulia dari akal”
Bisa pula yang dimaksud akal adalah ilmu yang
diserap oleh manusia dengan kekuatan yang disiapkan untuk menerima ilmu
pengetahuan itu, sabda rosululloh:
“seseorang tidak mendapatkan
sesuatu yang lebih utama daripada memiliki akal yang menunjukkann (kejalan
kebaikan) dan mencegahnya dari keburukan”[7]
Dari
beberapa hal subtansi immateri di atas dapat di ketahui bahwasanya manusia itu
mempunyai banyak dorongan, misalnya: Dorongan untuk beragama, Dorongan untuk
berakhlak mulia, Dorongan mencari kebenaran, Dorongan untuk bersikap mandiri,
bertanggung jawab, Dorongan untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, Dorongan
seksual, Dorongan rasa ingin tahu, Dorongan mempertahankan diri. dll
Adapun
dorongan-dorongan diatas merupakan manulisasi daripada potensi atau fitrah pada
diri manusia, aktualisasi potensi dan pengarahan dorongan-dorongan yang
seharusnya lebih cenderung pada hal yang positif tentu sesuai dengan ajaran
atau nilai-nilai agama islam.
Ruh adalah bagian manusia yang paling mulia
karena ia adalah tiupan. Dari Allah SWT. Ia harus dididik dengan tujuan untuk
mempermudah jalan dihadapannya untuk bermakrifat kepada Allah SWT dan
membiasakannya serta melatihnya untuk melaksanakn benar-benar ibadah kepada
Allah.
Akal
juga harus mendapatkan pendidikan islami yang bertujuan untuk mengajarkannya
bagaimana berpikir, melihat, dan merenung sehingga dengan itu ia smapai kepada
keimanan kepada Allah SWT, malaikatnya, kitab-kitab sucinya, rasul-rasulnya,
hari akhir, qadha dan qadhar, serta dapat menangkap sunnah-sunnah Allah di alam
semesta ini, jika akal telah mendapatkan petunjuk ia akan terjaga dari sikap
pembangkangan, penyimpangan, kesesatan, dan tenggelam dalam kesesatan di dunia
yang membuat ia tersesat dari kebenaran dan kehilangan akhirat.
Tubuh
juga harus di didik dengan pendidikan islami yang membuat tubuh berjalan
seiring dengan hokum-hukum syariat agama sehingga ia menjalankan apa yang di
halalkan Allah dan menjauhi apa yang di haramkannya. Misalnya kebutuhan manusia
berupa syahwat perut dan kemaluan itulah yang menjerumuskan keharaman, jika ia
tidak mendapatkan pendidikan islami, niscaya ia akan bermaksiat terhadap
Rabbnya.[8]
C.
Surat-Surat mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis.
Seperti
yang dijelaskan di atas bahwasanya aspek jasmani manusia juga berpengaruh dalam
perkembangan psikis peserta didik, mulai dari hal-hal yang berkenaan tentang pelatihan
jasmani maupun dari hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan atau jasmani manusia
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dll. Sebagaimana firman Allah
1.
Q.S Al-maidah : 87-88
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#qãBÌhptéB
ÏM»t6ÍhsÛ
!$tB
¨@ymr&
ª!$#
öNä3s9
wur
(#ÿrßtG÷ès?
4
cÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏtF÷èßJø9$#
ÇÑÐÈ
(#qè=ä.ur
$£JÏB
ãNä3x%yu
ª!$#
Wx»n=ym
$Y7ÍhsÛ
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
üÏ%©!$#
OçFRr&
¾ÏmÎ/
cqãZÏB÷sãB
ÇÑÑÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”
Diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang
laki-laki datang menghadap nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, apabila aku
memakan daging timbullah ransangan syahwatku kepada wanita. Oleh karena itu,
daging haram bagiku”. [9]
Dikemukakan
oleh Ibnu Asakir di dalam kitab tarikhnya dari jalan al-Suddi al-Saqir dari
al-Kalbi dari ABi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan segolongan sahabat nabi Saw, diantaranya Abu Bakar,
Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Mazh’un, al-Miqdad, bin al-Aswad dan Salim
maula Abi Huzaifa, mereka tidak memakan daging dan gajih, memakai pakaian
seorang Pendeta, tidak mau makan kecuali hanya sekedar untuk kekuatan badan dan
mereka akan berdakwah keliling bumi seperti yang dilakukan oleh para Pendeta.
Di
atas merupakan sekilas latar belakang historis turunnya ayat di atas. Penegasan
dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar tidak menghalangi
diri dengan jalan bernazar, sumpah atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang
baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan. Di samping itu,
jangan melampaui batas kewajaran walaupun berkaitan dengan upaya mendekatkan
diri kepadanya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang mengharamkan apa
yang halal.[10]
Rasulullah
bersabda :
كُلُّ
لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُخْطٍ فَالنَّارُ اَوْلَ يِهِ
Setiap daging dari tubuh manusia, yang tumbuh membesar
dari benda dan asal yang haram, maka sungguh hanyalah nerakalah yang layak
untuknya.
Makanan yang
halal lagi baik, akan membuat tubuh menjadi sehat dan bersemangat dalam
berkarya yang bermanfaat, membuat jiwa dan hati dipenuhi semangat beribadah
kepada Allah. Terasa hidup penuh berkah. Sebaliknya makanan yang haram, baik
haram lahirnya maupun haram cara mendapatkannya, akan membuat tubuh menjadi
sakit dan terkontaminasi dengan virus-virus yang haram. Kalaupun ada makanan haram
yang membuat tubuh menjadi sehat, tetap saja ada pengaruhnya bagi perkembangan
jiwa dan hati kita. Jiwa dan hati kita akan menjadi malas berkarya, malas
beribadah. Tubuhnya sehat, badannya kuat, tetapi akan terasa berat melakukan
kebaikan.
Adapun makanan
yang kita makan sangat besar pengaruhnya pada watak dan prilaku kita. Ilmu
kedokteran menjelaskan bahwa di dalam tubuh kita ada ion-ion positif. Ion
positif hanya mau berinteraksi dengan ion positif pula. Satu contoh, jika suatu
saat kita melakukan kesalahan, jika kita memiliki iman, akan muncul di dalam
jiwa kita rasa bersalah. Ini menandakan ion positif dalam tubuh kita
sesungguhnya menolak ikut berpartisipasi dalam berbuat kesalahan. Ion positif
juga ada pada makanan yang halal. Jika ion positif yang ada pada makanan halal
bertemu dengan ion positif yang ada dalam tubuh kita, artinya kita mengkonsumsi
makanan yang halal, maka munculnya satu kekuatan yang membuat tubuh, jiwa dan
hati kita dipenuhi semangat untuk berkarya dan beribadah. Sebaliknya, makanan
yang haram mengandung ion negatif, jika ion negatif yang ada pada makanan haram
dipaksakan bertemu dengan ion positif dalam tubuh kita, maka ion positif yang
ada pada tubuh kita akan teracuni yang lama kelamaan ion negatif tadi menjalar
ke seluruh tubuh dn menguasai semua bagian dari tubuh kita. Tubuh kitapun kini,
telah dipenuhi oleh ion negatif. Akibatnya tubuh dan jiwa kita tak lagi
bersemangat dalam berbuat kebaikan. Malas beribadah, enggan berkarya dalam
kebaikan.[11]
2. Surat
Al-‘Imran Ayat 14
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).
Allah
menggambarkan dalam dua ayat ini tentang kondisi manusia ketika mendahulukan
dunia atas akhirat. lalu Allah menjelaskan menjelaskan perbedaan yang besar dan
ketidaksamaan antara kedua alam tersebut, dimana Allah mengabarkan bahwa
manusia di hiasi dengan perkara-perkara tersebut sehingga mereka meliriknya
dengan mata mereka dan mereka ilusikan manisnnya dalam hati mereka, jiwa-jiwa
mereka terbuai dalam kenikmatan-kenikmatannya, dan setiap kelompok dari manusia
itu condong kepada salah satu jenis dari kenikmatan itu, yang sebenarnya mereka
telah menjadikan sebagai cita-cita terbesar mereka dan puncak pengetahuan
mereka. Padahal itu semua hanyalah kenikmatan sedikit yang akan lenyap dalam
waktu yang singkat. Maka itulah kesenangan terhadap di dunia dan di sisi Allah
tempat kembali yang baik.[12]
3.
Q.S ar
rum 30
Artinya
: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”
fitrah
Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal
itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.
Allah Swt. berfirman: Fa
aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus
pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu
al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dînbermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat,
karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah
saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan
meninggalkan kesesatan. Kata hanîf tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh; bisa pula merupakan hâl
bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk
menghadapkan wajah pada dîn
al-Islâm dengan pandangan
lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama
lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk
menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya,
teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting..
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan
manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah
Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn
al-Islâm sehingga manusia
tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid,
Qatadah, Ibnu
Abbas, Abu
Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid.Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah
itulah manusia diciptakan. Telah
ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya
(QS adz-Dzariyat : 56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling
melengkapi.
Harus di ingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi,yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu
berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian,
maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri
tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan
sebagai akidah tauhid atau dîn
al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah untuk mempertahankan
penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan
terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn
al-Islâm, dîn al-haq,
yang diciptakan Allah Swt. untuk manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang
artinya): Tetaplah kamu pada
jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang
telah taubat beserta kamu. (QS
Hud:112).
Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah
Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair, Mujahid,
Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li
khalqillâhmaksudnya adalah li
dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam
ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn
Allâh, maka kata khalq Allâh pun
demikian, bisa dimaknai dîn
Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan
bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun
tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena
itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini
memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan).
Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan
Allah dan agamanya dengan kemusyrikan dan janganlah mengubah fitrahmu
yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama
fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt. Menutup ayat ini
dengan firman-Nya: Dzâlika
ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn ( Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan,
perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan
fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan
penyimpangan di dalamnya.[13]
Manusia
adalah ruh, akal, jasmani, agama, moral, dan perasaan bermasyarakat. Islam
berusaha mendidiknya untuk dibawa ke dalam metode yang telah dipilihkan Allah.
Dialah yang mendidik ruh, akal, jasmani, dan seluruh yang terdapat dalam
kekuatan serta symbol tarbiyah islamiyah.dengan perangkat tersebut, manusia
bisa merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tiada
yang lebih utama dari mahkluk yang Allah ciptakan selain manusia. Oleh
karenanya, ia mengutus para rosul dan nabi kepada manusia untuk menunjukkan
pada jalan yang membawa kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Manusia
dididik untuk berpegang teguh pada agama yang lurus.
Orang
yang baik ialah yang mengikuti Allah dan Rasulullah Muhammad SAW, menyeru
kepada yang menghidupkannya dengan penuh kebaikan di dunia dan akhirat.[14] Sabda
Nabi:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ ، لَنْ تَضِلُّوْا مَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ الله وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ (مسلم)
Artinya: Aku tinggalkan untuk kalian
dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu
kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw (H.R. Muslim)[15]
[1]
Fatah Yasin, Op.cit., hlm.,55
[2]
Muhaimin,dkk., Op.cit., hlm.,12
[3]
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung: Marja, 2007,
hlm., 12
[4] Op.,cit
[5]
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Ilmu,2004,hlm., 19
[6]Abdul
Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam
Perspektif Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm.,54-55
[7]
Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, Jakarta : Gema Insani Press, 2000,
hlm.,67
[8]Ibid,
hlm.,69-70
[9]
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qu’an, Beirut: Darusyi-Syuruq,
1992,hlm.,187
[12]
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di, Jakarta:Darul Haq,
2006,hlm., 466
[14] Ali
Abdul halim Maahmud, loc.cit, hlm., 46
[15]
Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadist Terpilih, Jakarta: Gema
Insani,1991,hal 19.