Jumat, 10 April 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Pembahasan
Proses kejadian manusia menurut Al Qur’an pada dasarnya melalui dua proses dengan enam tahap yaitu proses fisik atau materi/jasadi (dengan lima tahap) dan proses non fisik (dengan satu tahap tersendiri). Secara fisik, manusia berproses dari nutfah, kemudian ‘alaqoh, mudlgoh, ‘idham, dan lahm yang membungkus ‘idham ata mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia. Dan secara nonfisik yaitu merupakan tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia sehingga ia berbeda dengan makhluk lainnya,[1] sementara bahan kejadian ruh dalam diri manusia yang mengetahui hanyalah Allah dan manusia tidak boleh tau akan hal itu karena itu adalah urusan tuhan (Q.S al Isra’:85).[2] Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, dan hikmah yang hebat, baik lahir maupun batin bahkan pada setiap anggota tubuhnya. Yang dapat dikembangkan menuju kemajuan peradapan manusia, pendidikan islam, antara ain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.[3]
Adapun dalam makalah ini, akan disajikan dorongan-dorongan secara fisiologis (jasmani) dan psikologis (rohani) yang sebenarnya mampu untuk mengembangkan diri dengan potensi-potensi yang telah di berikan oleh Allah serta ayat-ayat yang menafsirkan tentang arahan keduanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejatinya Manusia dalam Pandangan Islam?
2.      Bagaimana Dorongan Fisiologis dan Psiklogis pada Diri Manusia?
3.      Bagaimana Surat-Surat  mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui sejatinya Manusia dalam Pandangan Islam.
2.      Untuk mengetahui dorongan Fisiologis dan Psiklogis pada Diri Manusia
3.      Untuk mengetahui surat-surat  mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejatinya Manusia Dalam Pandangan Islam
Dalam dunia Pendidikan Islam, Pentingnya mengupas manusia dengan paradigma yang sangat luas, karena manusia sebagai subyek maupun obyek pendidikan. Dalam artian bahwa aktifitas pendidikan sangat berkaitan dengan proses humanizing of human being yaitu proses memanusiakan manusia atau upaya membantu subyek didik untuk berkembang normative lebih baik. Oleh karena itu, perlu sekali membahas tentang hakikat manusia khususnya dalam prespektif agama islam.[1]
Dari pada Proses kejadian manusia yang sebagaimana telah di sebutkan dalam (Q.S al mu’minun: 12-15) dan (Q.S al hijr: 29).[2] Adapun Manusia disitilahkan dalam al qur’an dalam tiga hal, yaitu al-basyiral- insan, dan an-nas.
Al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang memiliki sagala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, kebahagiaan, dan lainnya. Adapun kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak , atau pelupa. Secara istilah al-insan berarti adanya totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani. Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai mahluk Allah yang unik dan istimewa. Hal ini akan terintegrasi dalam iman dan amalnya.
An-Nas menunjukkan  pada eksistenti manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk struktur yang sempurna. Hal ini bisa dilihat dari ciptaan Allah yang lainnya. Penciptaan selain manusia hanya terdiri dari struktur jasmani (fisiologi) saja. Firman Allah :
ª!$#ur /ä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR ¢OèO ö/ä3n=yèy_ %[`ºurør& 4 $tBur ã@ÏJøtrB ô`ÏB 4Ós\Ré& Ÿwur ßìŸÒs? žwÎ) ¾ÏmÏJù=ÏèÎ/ 4 $tBur ㍣Jyèム`ÏB 9£JyèB Ÿwur ßÈs)Zムô`ÏB ÿ¾Ín̍ßJãã žwÎ) Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇÊÊÈ
Artinya:Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.(Q.S al fatiir: 11)
Kalaupun ada stuktur rohani seperti yang terdapat pada hewan dan tumbuhan, tetapi tidak dikarunia akal sebagai sentral aktivitas manusia. Manusia memiliki kedua struktur tersebut, jasmani dan rohani.  Dengan kedua struktur tersebut, maka manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan tersebut.
Adapun menurut pakar pendidikan, fase kehidupan manusia merupakan catatan terpenting bagi pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses menuju kearah yang lebih baik, maka ia harus senantiasa memperhatikan factor kejiwaan manusia, sehingga pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan perkembangan.[3] Ketika sudah sesuai dengan tahapan tahapannya, maka potensi-potensi dasar atau fitrah yang ada pada diri manusia dapat di aktualkan atau ditumbuhkan dalam kehidupan nyata di dunia ini dengan melalui proses pendidikan, dan untuk selanjutnya di pertanggungjawabkan di hadapanNya kelak di akhirat.[4]
B.     Dorongan Fisiologis dan Psiklogis pada Diri Manusia
Sebenarnya manusia ditempatkan pada kedudukan yang mulia dan dilebihkan oleh Allah SWT dari makhluk lain karena manusia diciptakan sebagai penerima ajaran dan sekaligus sebagai pelaksanakannya. Disamping itu juga diciptakan dalam bentuk fisik yang bagus, sebagaimana firman Allah swt, dalam surat At tin : 4
Untuk mempertahankan kedudukan manusia yang di mulia dan bentuk fisiknya yang bagus itu, Allah swt. Membekali dan memberi perlengkapan lagi dengan hal-hal yang non fisik yang memungkinkan bagi manusia untuk menerima dan mengembangkan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya.[5]
Adapun hal-hal yang menyangkup subtansi nonfisik (immateri) antara lain:
1.      Fitrah
Fitrah manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahir yakni potensi beragama yang lurus. firman Allah dalam
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al a’raf:172)
Menurut Muhammad bin Askur sebagaimana dikutip oleh Quraish shihab, beliau mengatakan: “fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang di ciptakan Allah pada manusia  yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (akal dan ruhnya).
2.      Nafs
Al qur’an menegaskan bahwa nafs dapat berpotensi positif dan negative. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negatifmya, hanya saja daya tarik keburukannya lebuh kuat daripada kebaikannya. Di sisi lain ditemukan isyarat bahwa nafs merupakan wadah yang menampung gagasan dan kemauan yang disadari manusia, maupun hal-hal yang sudah hilang dari ingatan manusia dengan kata lain “ dalam bawah sadar manusia.
3.      Qalb
Kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Dari sini dapatlah di fahami bahwa qalb memang menampung hala-hal yang di sadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara Qalb dan nafs.  Bukankah telah dinyatakan sebelumnya bahwa nafs  menampung apa yang ada di bawah alam sadar, dan atau sesuatau yang tidak di ingat lagi dengan demikian dapatlah difahami pula mengapa di tuntut untuk di pertanggung jawabkan hanya isi qalb bukan isi nafs.
žw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsム$oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3 ª!$#ur
 îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
Artinya:Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S Albaqarah:225)
4.       Ruh
Masalah ruh dan hakikatnya telah menjadi bahan pemikiran para filosof dan cerdik cendikiawan semenjak zaman lampau. Karena, dengan jelas dapat ditangkap bahwa di dalam tubuh manusia yang hidup ada sesuatu selain tubuh itu. Dengannya, manusia menjadi dapat  menangkap pemahamn dan dengan ketiadaannya maka tubuh manusia menjadi kehilangan control dan kemampuan untuk menangkap pemahaman. Dengan itu di ketahui bahwa di dalam tubuh manusia ada sesuatu selain anggota tubuh yang tampak dan tidak tampak. Karena, ditemukan dengan jelas bahwa ketika tubuh mayat dibedah, tidak ada suatu anggota tubuh bagian dalamnya yang hilang yang ada saat ia masih hidup.
Jika akal manusia tidak mampu memahami hakikat ruh dan cara perhubungannya dengan tubuh, bagaimana ruh itu lepas dari tubuh. Maka jawablah bahwa ruh adalah masalah Allah artinys ia merupakan satu eksistensi yang dimuliakan oleh Allah, namun hanya Allah lah yang mengetahui hakikatnya.
Allah berfiman dalam
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S 17:85)[6]
5.      Aql.
Menurut Raghib al-Asfahani akal merupakan kekuatan yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, sabda rosulullah
Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari akal”
Bisa pula yang dimaksud akal adalah ilmu yang diserap oleh manusia dengan kekuatan yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan itu, sabda rosululloh:
“seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang lebih utama daripada memiliki akal yang menunjukkann (kejalan kebaikan) dan mencegahnya dari keburukan”[7]
Dari beberapa hal subtansi immateri di atas dapat di ketahui bahwasanya manusia itu mempunyai banyak dorongan, misalnya: Dorongan untuk beragama, Dorongan untuk berakhlak mulia, Dorongan mencari kebenaran, Dorongan untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab, Dorongan untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, Dorongan seksual, Dorongan rasa ingin tahu, Dorongan mempertahankan diri. dll
Adapun dorongan-dorongan diatas merupakan manulisasi daripada potensi atau fitrah pada diri manusia, aktualisasi potensi dan pengarahan dorongan-dorongan yang seharusnya lebih cenderung pada hal yang positif tentu sesuai dengan ajaran atau nilai-nilai agama islam.
 Ruh adalah bagian manusia yang paling mulia karena ia adalah tiupan. Dari Allah SWT. Ia harus dididik dengan tujuan untuk mempermudah jalan dihadapannya untuk bermakrifat kepada Allah SWT dan membiasakannya serta melatihnya untuk melaksanakn benar-benar ibadah kepada Allah.
Akal juga harus mendapatkan pendidikan islami yang bertujuan untuk mengajarkannya bagaimana berpikir, melihat, dan merenung sehingga dengan itu ia smapai kepada keimanan kepada Allah SWT, malaikatnya, kitab-kitab sucinya, rasul-rasulnya, hari akhir, qadha dan qadhar, serta dapat menangkap sunnah-sunnah Allah di alam semesta ini, jika akal telah mendapatkan petunjuk ia akan terjaga dari sikap pembangkangan, penyimpangan, kesesatan, dan tenggelam dalam kesesatan di dunia yang membuat ia tersesat dari kebenaran dan kehilangan akhirat.
Tubuh juga harus di didik dengan pendidikan islami yang membuat tubuh berjalan seiring dengan hokum-hukum syariat agama sehingga ia menjalankan apa yang di halalkan Allah dan menjauhi apa yang di haramkannya. Misalnya kebutuhan manusia berupa syahwat perut dan kemaluan itulah yang menjerumuskan keharaman, jika ia tidak mendapatkan pendidikan islami, niscaya ia akan bermaksiat terhadap Rabbnya.[8]
C.     Surat-Surat  mengenai Aspek Fisiologis dan Psikologis.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwasanya aspek jasmani manusia juga berpengaruh dalam perkembangan psikis peserta didik, mulai dari hal-hal yang berkenaan tentang pelatihan jasmani maupun dari hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan atau jasmani manusia seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dll. Sebagaimana firman Allah
1.      Q.S Al-maidah : 87-88
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”
Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki datang menghadap nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, apabila aku memakan daging timbullah ransangan syahwatku kepada wanita. Oleh karena itu, daging haram bagiku”. [9]
Dikemukakan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab tarikhnya dari jalan al-Suddi al-Saqir dari al-Kalbi dari ABi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan sahabat nabi Saw, diantaranya Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Mazh’un, al-Miqdad, bin al-Aswad dan Salim maula Abi Huzaifa, mereka tidak memakan daging dan gajih, memakai pakaian seorang Pendeta, tidak mau makan kecuali hanya sekedar untuk kekuatan badan dan mereka akan berdakwah keliling bumi seperti yang dilakukan oleh para Pendeta.
Di atas merupakan sekilas latar belakang historis turunnya ayat di atas. Penegasan dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar tidak menghalangi diri dengan jalan bernazar, sumpah atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan. Di samping itu, jangan melampaui batas kewajaran walaupun berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepadanya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang mengharamkan apa yang halal.[10]
Rasulullah bersabda :
                                                                                                  كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُخْطٍ فَالنَّارُ اَوْلَ يِهِ

Setiap daging dari tubuh manusia, yang tumbuh membesar dari benda dan asal yang haram, maka sungguh hanyalah nerakalah yang layak untuknya.
Makanan yang halal lagi baik, akan membuat tubuh menjadi sehat dan bersemangat dalam berkarya yang bermanfaat, membuat jiwa dan hati dipenuhi semangat beribadah kepada Allah. Terasa hidup penuh berkah. Sebaliknya makanan yang haram, baik haram lahirnya maupun haram cara mendapatkannya, akan membuat tubuh menjadi sakit dan terkontaminasi dengan virus-virus yang haram. Kalaupun ada makanan haram yang membuat tubuh menjadi sehat, tetap saja ada pengaruhnya bagi perkembangan jiwa dan hati kita. Jiwa dan hati kita akan menjadi malas berkarya, malas beribadah. Tubuhnya sehat, badannya kuat, tetapi akan terasa berat melakukan kebaikan.
Adapun makanan yang kita makan sangat besar pengaruhnya pada watak dan prilaku kita. Ilmu kedokteran menjelaskan bahwa di dalam tubuh kita ada ion-ion positif. Ion positif hanya mau berinteraksi dengan ion positif pula. Satu contoh, jika suatu saat kita melakukan kesalahan, jika kita memiliki iman, akan muncul di dalam jiwa kita rasa bersalah. Ini menandakan ion positif dalam tubuh kita sesungguhnya menolak ikut berpartisipasi dalam berbuat kesalahan. Ion positif juga ada pada makanan yang halal. Jika ion positif yang ada pada makanan halal bertemu dengan ion positif yang ada dalam tubuh kita, artinya kita mengkonsumsi makanan yang halal, maka munculnya satu kekuatan yang membuat tubuh, jiwa dan hati kita dipenuhi semangat untuk berkarya dan beribadah. Sebaliknya, makanan yang haram mengandung ion negatif, jika ion negatif yang ada pada makanan haram dipaksakan bertemu dengan ion positif dalam tubuh kita, maka ion positif yang ada pada tubuh kita akan teracuni yang lama kelamaan ion negatif tadi menjalar ke seluruh tubuh dn menguasai semua bagian dari tubuh kita. Tubuh kitapun kini, telah dipenuhi oleh ion negatif. Akibatnya tubuh dan jiwa kita tak lagi bersemangat dalam berbuat kebaikan. Malas beribadah, enggan berkarya dalam kebaikan.[11]
2.      Surat Al-‘Imran Ayat 14
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Allah menggambarkan dalam dua ayat ini tentang kondisi manusia ketika mendahulukan dunia atas akhirat. lalu Allah menjelaskan menjelaskan perbedaan yang besar dan ketidaksamaan antara kedua alam tersebut, dimana Allah mengabarkan bahwa manusia di hiasi dengan perkara-perkara tersebut sehingga mereka meliriknya dengan mata mereka dan mereka ilusikan manisnnya dalam hati mereka, jiwa-jiwa mereka terbuai dalam kenikmatan-kenikmatannya, dan setiap kelompok dari manusia itu condong kepada salah satu jenis dari kenikmatan itu, yang sebenarnya mereka telah menjadikan sebagai cita-cita terbesar mereka dan puncak pengetahuan mereka. Padahal itu semua hanyalah kenikmatan sedikit yang akan lenyap dalam waktu yang singkat. Maka itulah kesenangan terhadap di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik.[12]
3.      Q.S ar rum 30
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Allah Swt. berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dînbermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf  tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh; bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting..
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid.Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat : 56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus di ingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi,yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau dîn al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn al-Islâm, dîn al-haq, yang diciptakan Allah Swt. untuk manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya): Tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu. (QS Hud:112).
Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâhmaksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan dan janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt. Menutup ayat  ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn ( Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.[13]
Manusia adalah ruh, akal, jasmani, agama, moral, dan perasaan bermasyarakat. Islam berusaha mendidiknya untuk dibawa ke dalam metode yang telah dipilihkan Allah. Dialah yang mendidik ruh, akal, jasmani, dan seluruh yang terdapat dalam kekuatan serta symbol tarbiyah islamiyah.dengan perangkat tersebut, manusia bisa merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tiada yang lebih utama dari mahkluk yang Allah ciptakan selain manusia. Oleh karenanya, ia mengutus para rosul dan nabi kepada manusia untuk menunjukkan pada jalan yang membawa kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Manusia dididik untuk berpegang teguh pada agama yang lurus.
Orang yang baik ialah yang mengikuti Allah dan Rasulullah Muhammad SAW, menyeru kepada yang menghidupkannya dengan penuh kebaikan di dunia dan akhirat.[14] Sabda Nabi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ ، لَنْ تَضِلُّوْا مَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ الله وَ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ (مسلم)
Artinya: Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw (H.R. Muslim)[15]




[1] Fatah Yasin, Op.cit., hlm.,55
[2] Muhaimin,dkk., Op.cit., hlm.,12
[3] Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung: Marja, 2007, hlm., 12
[4] Op.,cit
[5] Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Ilmu,2004,hlm., 19
[6]Abdul Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hlm.,54-55
[7] Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, Jakarta : Gema Insani Press, 2000, hlm.,67
[8]Ibid, hlm.,69-70
[9] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qu’an, Beirut: Darusyi-Syuruq, 1992,hlm.,187
[12] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di, Jakarta:Darul Haq, 2006,hlm., 466
[14] Ali Abdul halim Maahmud, loc.cit, hlm., 46
[15] Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadist Terpilih, Jakarta: Gema Insani,1991,hal 19.



[1] Muhaimin,dkk. Paradigma Pendidikan Islam, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2012, hlm.,11
[2] Fatah yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang:UIN malang Press, 2008, hlm.,56
[3]Op.cit.,